BAB
I
PENDAHULUAN
INDONESIA sebagai sebuah bangsa dan Negara sangatlah
besar dan memiliki sejarah dengan tradisi yang besar(the grid tradition).
Bangunan-bangunan Masjid Baiturrahman(Aceh), Masjid Agung Medan, Demak, Kudus,
serta masjid-masjid di seluruh kepulauan Nusantara, Candi Borobudur, Candi
Prambanan, serta berbagai peninggalan nenek moyang bangsa ini menggambarkan warisan
kebudayaan yang luhur Indonesia dengan kondisi geografis, sumber daya alam, dan
kekayaan lainnya yang kayaraya menurut Multatuli bahkan disebut sebagai Zamrut
di Khatulistiwa. Ribuan pulau dan suku bangsa tersebar di seluruh penjuru
negeri ini, sehingga menambah kebesaran negeri ini. Kerajaan-kerajaan Samudra
Pasai, Aceh Darrusalam, Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Mataram, Gowa, Ternate
dan Tidore, dan berbagai kerajaan yang pernah jaya bukan hanya perkasa di
wilayah Nusantara, tetapi hingga ke mancanegara sepeerti Siam, Cina, dan
sebagainya. Karena kekayaan sumber daya alam dan kesuburan tanah air Nusantara
itulah membuat bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda hingga Jepang
tertarik dan kemudian menjajah Indonesia hingga ratusan tahun.
Pasca kemerdekaan tahun 1945 Indonesia dengan jatuh
dan bangun menjadi bangsa yang disegani bukan hanya di wilayah Asia Tenggara
dan Asia, tetapi di negeri-negeri lain. Kepemimpinan Soekarno dengan segala
kelebihan dan kekurangannya bahkan menjadikannya bangsa-bangsa lain menghormati
Indonesia dan termasuk pelopor lahirnya negara-negara non-blok bersama India,
Mesir, dan Jugoslavia kala itu. Tetapi masalah-masalah terorisme, korupsi, dan
persengketaan soal kepemilikan pulau Ambalat dan lain-lain, membuat Indonesia
mengalami penurunan martabat di hadapan bbeban dan bangsa-bangsa lain. Di
bidang olahraga yang selama ini tangguh seperti bulutangkis dan sepakbola
Indonesiamenunjukkan penurunan prestasi yang tajam, yang menambah beban dan
luruhnya pemghormatan bangsa lain. Dengan tetap harus menyimpan dan menawarkan
optimism, segala masalah berat itu selain harus menjadikan seluruh anak bangsa
waspada dan sadar diri, sekaligus dituntut untuk bangkit dan memperbaiki diri
menuju kejayaan masa depan.
Sesungguhnya bangsa Indonesia masih memiliki potensi
dan peluang besar untuk bangkit menjadi
kekuatan besar. Menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur,
bersatu, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dengan
jumlah penduduk sebesar 237 juta, sumberdaya dan kekayaan alam yang masih
melimpah, dan keragaman suku bangsa serta golongan yang memiliki niali-nilai
religiusitas dan budaya yang secara potensial masih kuat, merupakan peluang
untuk bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan dan kemudian menjadi bangsa yang
besar di hadapan bangsa-bangsa lain. Dengan modal pertumbuhan ekonomi yang
menurut banyak kalangan seperti Price
Waterhouse Coopers (2006), Indonesia pada periode 2005-2050 diprediksi akan
menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lain, bahkan dengan tingkat GDP yang
tinggi setelah India(7,6) dan setingkat diatas Cina(6,3) dan negeri-negeri maju
lainnya yakni dengan rata-rata GDP 7,3 dalam hitungan USD (Bambang Sudibyo,
2011: 15). Demikian pula perkembangan demokrasi yang semakin mekar, karena dengan
iklim demokrasi yang kondusif maka akan terbuka peluang untuk maju di bidang
lain.
Bangsa Indonesia sungguh telah melewati masa panjang
dari kemerdekaannya dengan dinamika perkembangan dan masalah yang kompleks. Di
satu pihak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang berarti dalam kehidupannya
terutama di bidang kualitas sumberdaya intelektual dan penguasaan ilmu
pengetahuan serta teknologi. Corak kehidupan yang berorientasi serba materi
(materialisme), kesenangan (hedonisme), sikap menerabas (pragmatisme),
kehidupan serba bebas (liberalisme), dan sikap hidup mendunia yang memperlemah
ikatan-ikatan budaya (globalisme), tumbuh dan berkembang demikian sitematik
yang mempengaruhi daya tahan dan sikap kebangsaan. Hal serupa menunjukkan bahwa
sebagian anak bangsa yang melakukan berbagai penyimpangan dan tindakan-tindakan
yang merugikan hajat hidup public tersebut menggambarkan gejala peluruhan
nilai-nilai kebangsaan tersebut dibiarkan meluas maka akan memperlemah
sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara, sehingga pada jangka panjang akan
mengancam eksistensi dan masa depan bangsa Indonesia.
.Agama
dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak
yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang
utuh. Dalam kaidah sebenarnya agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan
masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari pada kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan
yang erat dalam kehidupan masyarakat.
Geertz (1992:13), mengakatan bahwa wahyu membentuk suatu
struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang
menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku
mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi
juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama
timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil
daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup
pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agama
sekaligus memberi pengertian, dalam penulisan ilmiah hendak mengulas mengenai
Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk ilmiah dengan judul “Agama
dan Budaya”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a
berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti
sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara
integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan,
sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama
sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan
alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama
tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion
(bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar
pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat
peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan
realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal (Sumardi, 1985:71).
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari
kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul
Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga
Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Secara fenomenologis, Agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang
diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama
berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin
Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47)
lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang
agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja. Tapi keduanya sama-sama
memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini
dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman
dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang
diterjemahkan “Tuhan” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala
dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama
adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya
terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha
luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap
Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi,
1985:75).
2.2 Pengertian Kebudayaan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1996: 149), disebutkan bahwa: “
budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan
keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah
mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat
kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Menurut Ki Hadjar Dewantoro Kebudayaan adalah "sesuatu" yang
berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan atau
budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non
material.
2.3 Hubungan antara Agama dan
Kebudayaan.
Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah
tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara
kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan
dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang
seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus
ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui.
Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan.
SebaliknyA kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana
agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak
ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang –Illahi tidak akan
mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat
Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik
inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab
yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan
oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa
kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan
penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling
mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ” Manusia yang
beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena
kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus
mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
Jika kita teliti budaya Indonesia, budaya itu terdiri
dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha,
Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79).
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan
dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat
yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba,
Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan
dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat
tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni
ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan
estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang
menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu
ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju
kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam
Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang
menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai
pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap
tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima
waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang
baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada
pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam
pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini
menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang
dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut
balasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi
sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas
dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah
sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap
agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk
memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para
warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama
tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang
dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar
menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga
masyarakat tersebut. yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama
yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai
aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita
dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena
memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut
dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada
dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan
yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan
kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.
2.4 Contoh hubungan agama dan kebudayaan
di dalam kehidupan sehari-hari
1. Ketika
seseorang berpindah agama cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara
signifikan. dapat dilihat seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama
islam maka pandangan hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka
dalam berpakaian ketika mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang
menutup aurat tetapi ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka
menutup aurat.
2.
Ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi
menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan
tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu
tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia
justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta
kesetiakawanan lintas etnoreligius.
3.
Budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai
sekarang masih terjaga kelestariannya.
2.5 PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA
BANGSA Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang relijius (beragama dan berwatak keagamaan) dan berkebudayaan
(berprilaku atas dasar nilai-nilai kebudayaan yang dianut) yang luhu r atau
utama .Karena itu baik dalam kehidupan bangsa pada umumnya dan pendidikan pada
khususnya, kedudukan agama khususnya pendidikan agama dan budaya menjadi sangat
penting. Agama, melalui ajaran maupun peran pemeluknya memiliki pertautan
dengan kehidupan kebangsaan. Agama ketika menyatu dengan kehidupan pemeluknya
mensyaratkan adanya internalisasi, yakni penghayatan dan penjelmaan dari ketuhanan
ajaran tersebut dalam kehidupan pemeluknya. Namun integrasi agama dengan pemeluknya
melalui internalisasi nilai selalu memiliki dinamika antara hal-hal yang imanen dan transenden, sehingga melahirkan corak keberagamaan yang kompkel,
termasuk integrasi antara Islam dan keindonesiaan (Abdullah, 1974: 8).
Karena bangsa ini hidup dengan agama
dan kebudayaan, maka pendidikan nasional mengakomodasikan dan mengintegrasikan kedua
nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan proses dan tujuannya.
Disinilah pentingnya pendidikan khususnya
pendidikan karakter yang berbasis dalam nilai-nilai agama, disamping nilai-nilai
yang tumbuh dalam kebudayaan Indonesia. Khusus pendidikan karakter yang
berbasis pada agama, memiliki pondasi yang kokoh sebab agama memiliki dasar-dasar
nilai fundamental dan universal tentang kehidupan, termasuk kehidupan
dibidang moral atau akhlak untuk menjadikan manusia berada dalam fitrahnya selaku
makhluk Tuhan yang beradab.
Bagi seorang muslim misalnya, hidup itu
berasal dari Allah Yang Mahasegala-galanya, hidup tidak sekedar didunia tetapi juga
dihari akhirat kelak. Pandangan hidup Muslim berlandaskan tauhid, ajarannya bersumber
pada Al-Qur’an dan sunah Nabi, teladan hidupnya ialahNabi, tugas dan fungsi hidupnya
ialah menjalankan ibadah kekhalifahan dimuka bumi, karya hidupnya ialah amal shalih,
dan tujuan hidupnya ialah meraih karunia dan ridha Allah.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini
agama memiliki posisi dan peranan yang sangat penting. Agama dapat berfungsi sebagai
factor MOTIVASI (pendorong untuk bertindak benar, baik, etis, dan maslahat),
PROFETIK (menjadi risalah yang menjadi arah kehidupan) KRITIK (menyuruh pada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar) KREATIF (mengarahkan amal atau tindakan
yang menghasilkan manfaat bagi diri sendiri atau orang lain) INTEGRATIF
(menyatukan elemen-elemen yang rusak dalam diri manusia dan masyarakat untuk menjadi
lebih baik) SUBLIMATIF (memberikan proses menyucikan diri dalam kehidupan) dan
LIBERATIF (membebaskan manusia dari berbagai belenggu kehidupan).
2.6 PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS KEBUDAYAAN
BANGSA Indonesia memiliki sejarah dan kebudayaan yang
terbilang positif, bahkan merasa dirinya sebagai masyarakat dengan kebudayaan
yang luhur terutama dalam tatakrama dan pergaulan antar sesama. Warisan kebudayaan
fisik seperti masjid, candi, kraton, kain batik, keris, dan peninggalan-peninggalan
kebudayaan lainnya (heritage) mendukkung kebudayaan masa lampau ini. Berbagai kerajaan
yang pernah jaya di Nusantara seperti Samudra Pasai, Aceh Darrusalam, Kutai,
Sriwijaya, Singosari, Demak, Pajang Banten, Majapahit, Mataram, dan lain-lain
menunjukan jejak dan peradaban bangsa Indonesia yang gemilang. Kendati diakui,
bangsa ini juga mengalami masa penjajahan yang lama dan berat sejak Portugis hingga
Belanda dan pendudukan Jepang yang berujung kepada kemerdekaan tahun 1945.
Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tersebut menunjukan
kemampuan bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi tradisi besar (the
great tradition), seberapa penting kualitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari
(everyday life) masyarakat Indonesia memiliki pengalaman yang positif sebagai manusia-manusia
yang damai, toleran, ramah, rukun, kerja keras, dan sifat-sifat baik lainnya. Karenanya
diperlukan transformasi atau rancang-bangun yang lebih sistematis dalam membangkitkan
kembali karakter bangsa atau manusia Indonesia menuju masa depan yang lebih maju
dan unggul. Keunggulan kualitas manusia akan menentukan masa depan kebudayaan dan
peradaban bangsa.
2.7 PENGERTIAN NGABEN
NGABEN merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh umat HINDU
di BALI yang tergolong upacara PITRA YADNYA (upacara yang ditunjukan kepada
leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan
nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen
yang lama kelamaan terjadi pengeseran menjadi kata ngaben. Upacara ngaben
selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak
(api yang berasal dari PUJA MANTRA
PENDETA yang memimpin upacara). Versi lain upacara memberi kekal kepada
Leluhur untuk perjalanannya ke SUNIA LOKA.
2.8 TUJUAN UPACARA NGABEN
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki
makna sebagai berikut. Dengan membakan jenazah maupun simbolisnya kemudian
menghanyutkan abu kesungai atau laut memiliki makna untuk melepaskan sang Atma
(roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan
simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang
bersangkutan.
2.9 BENTUK BENTUK UPACARA NGABEN
NGABEN SAWA WEDANA adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah
yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu).
NGABEN ASTI WEDANA adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka
jenazah yang elah pernah dikubur.
SWASTA adalah upacara ngaben tanpa melibatkan jenazah maupun
kerangka mayat.
NGELUNGAH adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
WARAK KRURON adala upacara untuk bayi yang keguguran.
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat, agama dan kebudayaan sangat erat berkaitan satu
sama lain. Saat budaya atau agama diartikan sesuatu yang terlahir di dunia yang
manusia mau tidak mau harus menerima warisan tersebut. Berbeda ketika
sebuah kebudayaan dan agama dinilai sebagai sebuah proses tentunya akan
bergerak kedepan menjadi sebuah pegangan, merubah suatu keadaan yang sebelumnya
menjadi lebih baik.
Ketika agama dilihat dengan kacamata agama maka agama
akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama (islam) telah mengatur segala
masalah dari yang paling kecil contohnya buang hajat hingga masalah yang ruwet
yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga disini diperlukan sebuah kebudayaan
agar agama (islam) akan tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan
masyarakat yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan
yang sakral yang membedakan dengan masyarakat lainnya yang tidak menjadikan agama
untuk dibiasakan dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan sehingga akan
menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat tersebut.
Sedangkan
jika agama dilihat dari kebudayaan maka kita lihat agama sebagai keyakinan yang
hidup yang ada dalam masyarakat manusia dan bukan agama yang suci dalam
(Al-Qur’an dan Hadits) Sebuah keyakinan hidup dalam masyarakat maka agama akan
bercorak local, yaitu local sesuai dengan kebudayaan masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA
DAN KEBUDAYAAN
Penulis: Dr. Haedar Nashir
Sampul: Tim Kreatif MP
Tata
Letak: Tubagus Kaysan
Pra Cetak:
Hatib Rachmawan
Cetakan Pertama, Mei 2013
Ukuran:
15.5 x 24 cm
Halaman:
xiv + 111
Font:
Goudy Old Style
Penerbit:
Multi Presindo
Jl. Wonosari
Km.7 Mantup Baru No.144 RT 15
Baturetno-Banguntapan
Bantul Yogyakarta
https: //damayanti327.wordpress.com/about/hubungan-agama-dan-budaya-tinjauan-sosiokultural/
id.m.wikipedia.org/wiki/Ngaben