Minggu, 11 Januari 2015

Pendidikan Berbasis Karakter Agama dan Budaya



BAB I
PENDAHULUAN
INDONESIA sebagai sebuah bangsa dan Negara sangatlah besar dan memiliki sejarah dengan tradisi yang besar(the grid tradition). Bangunan-bangunan Masjid Baiturrahman(Aceh), Masjid Agung Medan, Demak, Kudus, serta masjid-masjid di seluruh kepulauan Nusantara, Candi Borobudur, Candi Prambanan, serta berbagai peninggalan nenek moyang bangsa ini menggambarkan warisan kebudayaan yang luhur Indonesia dengan kondisi geografis, sumber daya alam, dan kekayaan lainnya yang kayaraya menurut Multatuli bahkan disebut sebagai Zamrut di Khatulistiwa. Ribuan pulau dan suku bangsa tersebar di seluruh penjuru negeri ini, sehingga menambah kebesaran negeri ini. Kerajaan-kerajaan Samudra Pasai, Aceh Darrusalam, Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Mataram, Gowa, Ternate dan Tidore, dan berbagai kerajaan yang pernah jaya bukan hanya perkasa di wilayah Nusantara, tetapi hingga ke mancanegara sepeerti Siam, Cina, dan sebagainya. Karena kekayaan sumber daya alam dan kesuburan tanah air Nusantara itulah membuat bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda hingga Jepang tertarik dan kemudian menjajah Indonesia hingga ratusan tahun.
Pasca kemerdekaan tahun 1945 Indonesia dengan jatuh dan bangun menjadi bangsa yang disegani bukan hanya di wilayah Asia Tenggara dan Asia, tetapi di negeri-negeri lain. Kepemimpinan Soekarno dengan segala kelebihan dan kekurangannya bahkan menjadikannya bangsa-bangsa lain menghormati Indonesia dan termasuk pelopor lahirnya negara-negara non-blok bersama India, Mesir, dan Jugoslavia kala itu. Tetapi masalah-masalah terorisme, korupsi, dan persengketaan soal kepemilikan pulau Ambalat dan lain-lain, membuat Indonesia mengalami penurunan martabat di hadapan bbeban dan bangsa-bangsa lain. Di bidang olahraga yang selama ini tangguh seperti bulutangkis dan sepakbola Indonesiamenunjukkan penurunan prestasi yang tajam, yang menambah beban dan luruhnya pemghormatan bangsa lain. Dengan tetap harus menyimpan dan menawarkan optimism, segala masalah berat itu selain harus menjadikan seluruh anak bangsa waspada dan sadar diri, sekaligus dituntut untuk bangkit dan memperbaiki diri menuju kejayaan masa depan.
Sesungguhnya bangsa Indonesia masih memiliki potensi dan peluang besar untuk bangkit menjadi  kekuatan besar. Menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bersatu, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dengan jumlah penduduk sebesar 237 juta, sumberdaya dan kekayaan alam yang masih melimpah, dan keragaman suku bangsa serta golongan yang memiliki niali-nilai religiusitas dan budaya yang secara potensial masih kuat, merupakan peluang untuk bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan dan kemudian menjadi bangsa yang besar di hadapan bangsa-bangsa lain. Dengan modal pertumbuhan ekonomi yang menurut banyak kalangan seperti Price Waterhouse Coopers (2006), Indonesia pada periode 2005-2050 diprediksi akan menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lain, bahkan dengan tingkat GDP yang tinggi setelah India(7,6) dan setingkat diatas Cina(6,3) dan negeri-negeri maju lainnya yakni dengan rata-rata GDP 7,3 dalam hitungan USD (Bambang Sudibyo, 2011: 15). Demikian pula perkembangan demokrasi yang semakin mekar, karena dengan iklim demokrasi yang kondusif maka akan terbuka peluang untuk maju di bidang lain.
Bangsa Indonesia sungguh telah melewati masa panjang dari kemerdekaannya dengan dinamika perkembangan dan masalah yang kompleks. Di satu pihak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang berarti dalam kehidupannya terutama di bidang kualitas sumberdaya intelektual dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Corak kehidupan yang berorientasi serba materi (materialisme), kesenangan (hedonisme), sikap menerabas (pragmatisme), kehidupan serba bebas (liberalisme), dan sikap hidup mendunia yang memperlemah ikatan-ikatan budaya (globalisme), tumbuh dan berkembang demikian sitematik yang mempengaruhi daya tahan dan sikap kebangsaan. Hal serupa menunjukkan bahwa sebagian anak bangsa yang melakukan berbagai penyimpangan dan tindakan-tindakan yang merugikan hajat hidup public tersebut menggambarkan gejala peluruhan nilai-nilai kebangsaan tersebut dibiarkan meluas maka akan memperlemah sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara, sehingga pada jangka panjang akan mengancam eksistensi dan masa depan bangsa Indonesia.
.Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah sebenarnya agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat. 
Geertz (1992:13), mengakatan bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agama sekaligus memberi pengertian, dalam penulisan ilmiah hendak mengulas mengenai Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk ilmiah dengan judul “Agama dan Budaya”.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71).
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, Agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja. Tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75).
2.2 Pengertian Kebudayaan.
            Di dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia(1996: 149), disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup,  way of life, dan kelakuan.
            Menurut Ki Hadjar Dewantoro Kebudayaan adalah "sesuatu" yang
berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
            Dari beberapa pendapat tersebut  dapat disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non material.
2.3 Hubungan antara Agama dan Kebudayaan.
            Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
            Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. SebaliknyA kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang –Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.
            Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
            Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ” Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.
              Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus
mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
Jika kita teliti budaya Indonesia, budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79).
            Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
            Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
            Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
            Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
            Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut balasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

2.4    Contoh hubungan agama dan kebudayaan di dalam kehidupan sehari-hari
1.     Ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat.
2.      Ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.
3.      Budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.

2.5 PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA
BANGSA Indonesia dikenal sebagai bangsa yang relijius (beragama dan berwatak keagamaan) dan berkebudayaan (berprilaku atas dasar nilai-nilai kebudayaan yang dianut) yang luhu r atau utama .Karena itu baik dalam kehidupan bangsa pada umumnya dan pendidikan pada khususnya, kedudukan agama khususnya pendidikan agama dan budaya menjadi sangat penting. Agama, melalui ajaran maupun peran pemeluknya memiliki pertautan dengan kehidupan kebangsaan. Agama ketika menyatu dengan kehidupan pemeluknya mensyaratkan adanya internalisasi, yakni penghayatan dan penjelmaan dari ketuhanan ajaran tersebut dalam kehidupan pemeluknya. Namun integrasi agama dengan pemeluknya melalui internalisasi nilai selalu memiliki dinamika antara hal-hal yang imanen dan transenden, sehingga melahirkan corak keberagamaan yang kompkel, termasuk integrasi antara Islam dan keindonesiaan (Abdullah, 1974: 8).
Karena bangsa ini hidup dengan agama dan kebudayaan, maka pendidikan nasional mengakomodasikan dan mengintegrasikan kedua nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan proses dan tujuannya.
Disinilah pentingnya pendidikan khususnya pendidikan karakter yang berbasis dalam nilai-nilai agama, disamping nilai-nilai yang tumbuh dalam kebudayaan Indonesia. Khusus pendidikan karakter yang berbasis pada agama, memiliki pondasi yang kokoh sebab agama memiliki dasar-dasar nilai fundamental dan universal tentang kehidupan, termasuk kehidupan dibidang moral atau akhlak untuk menjadikan manusia berada dalam fitrahnya selaku makhluk Tuhan yang beradab.
Bagi seorang muslim misalnya, hidup itu berasal dari Allah Yang Mahasegala-galanya, hidup tidak sekedar didunia tetapi juga dihari akhirat kelak. Pandangan hidup Muslim berlandaskan tauhid, ajarannya bersumber pada Al-Qur’an dan sunah Nabi, teladan hidupnya ialahNabi, tugas dan fungsi hidupnya ialah menjalankan ibadah kekhalifahan dimuka bumi, karya hidupnya ialah amal shalih, dan tujuan hidupnya ialah meraih karunia dan ridha Allah.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini agama memiliki posisi dan peranan yang sangat penting. Agama dapat berfungsi sebagai factor MOTIVASI (pendorong untuk bertindak benar, baik, etis, dan maslahat), PROFETIK (menjadi risalah yang menjadi arah kehidupan) KRITIK (menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar) KREATIF (mengarahkan amal atau tindakan yang menghasilkan manfaat bagi diri sendiri atau orang lain) INTEGRATIF (menyatukan elemen-elemen yang rusak dalam diri manusia dan masyarakat untuk menjadi lebih baik) SUBLIMATIF (memberikan proses menyucikan diri dalam kehidupan) dan LIBERATIF (membebaskan manusia dari berbagai belenggu kehidupan).

2.6 PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEBUDAYAAN
BANGSA Indonesia memiliki sejarah dan kebudayaan yang terbilang positif, bahkan merasa dirinya sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang luhur terutama dalam tatakrama dan pergaulan antar sesama. Warisan kebudayaan fisik seperti masjid, candi, kraton, kain batik, keris, dan peninggalan-peninggalan kebudayaan lainnya (heritage) mendukkung kebudayaan masa lampau ini. Berbagai kerajaan yang pernah jaya di Nusantara seperti Samudra Pasai, Aceh Darrusalam, Kutai, Sriwijaya, Singosari, Demak, Pajang Banten, Majapahit, Mataram, dan lain-lain menunjukan jejak dan peradaban bangsa Indonesia yang gemilang. Kendati diakui, bangsa ini juga mengalami masa penjajahan yang lama dan berat sejak Portugis hingga Belanda dan pendudukan Jepang yang berujung kepada kemerdekaan tahun 1945.
Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tersebut menunjukan kemampuan bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi tradisi besar (the great tradition), seberapa penting kualitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) masyarakat Indonesia memiliki pengalaman yang positif sebagai manusia-manusia yang damai, toleran, ramah, rukun, kerja keras, dan sifat-sifat baik lainnya. Karenanya diperlukan transformasi atau rancang-bangun yang lebih sistematis dalam membangkitkan kembali karakter bangsa atau manusia Indonesia menuju masa depan yang lebih maju dan unggul. Keunggulan kualitas manusia akan menentukan masa depan kebudayaan dan peradaban bangsa.
2.7 PENGERTIAN NGABEN
NGABEN merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh umat HINDU di BALI yang tergolong upacara PITRA YADNYA (upacara yang ditunjukan kepada leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pengeseran menjadi kata ngaben. Upacara ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari PUJA MANTRA PENDETA yang memimpin upacara). Versi lain upacara memberi kekal kepada Leluhur untuk perjalanannya ke SUNIA LOKA.
2.8 TUJUAN UPACARA NGABEN
 Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna sebagai berikut. Dengan membakan jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu kesungai atau laut memiliki makna untuk melepaskan sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
2.9 BENTUK BENTUK UPACARA NGABEN
NGABEN SAWA WEDANA adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu).
NGABEN ASTI WEDANA adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang elah pernah dikubur.
SWASTA adalah upacara ngaben tanpa melibatkan jenazah maupun kerangka mayat.
NGELUNGAH adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
WARAK KRURON adala upacara untuk bayi yang keguguran.






BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat, agama dan kebudayaan sangat erat berkaitan satu sama lain. Saat budaya atau agama diartikan sesuatu yang terlahir di dunia yang manusia mau tidak mau harus menerima warisan tersebut.  Berbeda ketika sebuah kebudayaan dan agama dinilai sebagai sebuah proses tentunya akan bergerak kedepan menjadi sebuah pegangan, merubah suatu keadaan yang sebelumnya menjadi lebih baik.
Ketika  agama dilihat dengan kacamata agama maka agama akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama (islam)  telah mengatur segala masalah dari yang paling kecil contohnya buang hajat hingga masalah yang ruwet yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga disini diperlukan sebuah kebudayaan agar agama (islam) akan tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan yang sakral yang membedakan dengan masyarakat lainnya yang tidak menjadikan agama untuk dibiasakan dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan sehingga akan menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat tersebut.
Sedangkan jika agama dilihat dari kebudayaan maka kita lihat agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat  manusia dan bukan agama yang suci dalam (Al-Qur’an dan Hadits) Sebuah keyakinan hidup dalam masyarakat maka agama akan bercorak local, yaitu local sesuai dengan kebudayaan masyarakat tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Penulis: Dr. Haedar Nashir

Sampul: Tim Kreatif MP
Tata Letak: Tubagus Kaysan
Pra Cetak: Hatib Rachmawan

Cetakan Pertama, Mei 2013
Ukuran: 15.5 x 24 cm
Halaman: xiv + 111
Font: Goudy Old Style

Penerbit:
Multi Presindo
Jl. Wonosari Km.7 Mantup Baru No.144 RT 15
Baturetno-Banguntapan Bantul Yogyakarta
https: //damayanti327.wordpress.com/about/hubungan-agama-dan-budaya-tinjauan-sosiokultural/
id.m.wikipedia.org/wiki/Ngaben